Usianya sudah cukup tua, 60 tahun. Namun, siapa
menyangka Henry Hambali masih terus bertualang dan mengelilingi Indonesia
hingga sekarang.
Saat ditemui, Hambali sedang sibuk mengatur arus lalu
lintas dan parkiran di pintu masuk utama kawasan wisata Bromo, Desa Ngadisari,
Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur. Saat itu, Bromo dikunjungi puluhan
ribu orang yang ingin menyaksikan upacara Yadnya Kasada.
"Saya sudah seminggu di sini, numpang menginap di Pos Pengamanan Kawasan Wisata Bromo," ujar Hambali, pekan lalu.
Dia datang ke Bromo karena ingin melengkapi daftar
petualangannya ke seluruh penjuru Indonesia. Berbeda dengan para petualang
lainnya, Hambali hanya bermodal nekat tanpa modal uang yang banyak.
Seperti di Bromo, dia tiba di lokasi itu seminggu
sebelum puncak acara Yadnya Kasada. Dengan tas punggungnya yang sudah lusuh
itu, Hambali kemudian mencari tempat menginap gratis dan peluang untuk kerja.
Menjadi tukang parkir salah satunya.
Saat Yadnya Kasada mencapai puncak upacara pada 21
Juli, Hambali terlihat menemani seorang wisatawan asal Perancis, Thomas. Dia
tidak mematok tarif menjadi guide. Dia bekerja seikhlasnya saja,
seberapa pun yang diberikan orang, dia terima dengan senang hati.
Hambali memulai petualangannya sejak 5 Januari 1988
dari kampung halamannya di Lamongan. Cita-citanya sederhana, ingin melihat dan
merasakan Indonesia yang sesungguhnya. Hambali memang menyenangi dunia
petualangan dan mendaki gunung.
Yang membuat kagum dari pria sederhana ini adalah
sebuah buku tulis yang dia bawa kemana pun dia pergi. Buku album besar itu
berisi rekaman seluruh perjalanan petualangannya ke ribuan tempat di Indonesia.
Setiap mengunjungi satu lokasi, Hambali selalu mendatangi pemerintah setempat,
entah itu kepala desa, kantor polisi, kantor tentara atau siapapun yang
dianggapnya berkompoten membubuhi tanda tangan dan cap di bukunya.
Rute petualangan Hambali tidak runut. Dia pergi ke
mana saja yang bisa dia jangkau dengan uang yang didapatnya selama bekerja di
suatu tempat. Hambali tiba di Merauke pada tanggal 10 Oktober
1988 dan di Sabang pada 25 September 2003. Dia juga telah mengunjungi pulau
Marore, salah satu pulau terluar yang berbatasan dengan Filipina pada 26
Agustus 1989. Semua kunjungan itu tercatat di bukunya lengkap dengan tanda
tangan dan cap pemerintah setempat.
Yang menyenangkan baginya adalah saat yang
membubuhkan tanda tangan ikut pula menuliskan pesan dan kesannya. Hambali
bahkan telah berkelana hingga ke Asmat, Agas, Timika, Manado, hutan Kalimantan,
berbagai kawasan konservasi, hingga ke Flores. Seluruh provinsi di Indonesia
sudah didatanginya, dan terus akan dijelajahinya.
Menurut pria yang sudah bercerai dengan istirnya 20
tahun lalu ini, Indonesia adalah rumahnya. Dia bisa tinggal di mana saja di
seluruh jazirah Nusantara, dan merasa nyaman. Tak terhitung lagi berapa banyak
orang yang dia temui selama 28 tahun petualangannya.
Tak jarang dalam petualangannya dia harus
beristirahat sekian lama karena didera sakit. Salah satunya saat dia
mengunjungi Sangihe di Sulawesi Utara. Kala itu dia harus terbaring sakit dan
tak berdaya.
Saat berada di Minahasa Utara, Hambali malah pernah
menjadi pekerja tambang. Dia ikut satu kelompok penambang emas di Tatelu. Di
sana dia belajar bagaimana kerasnya kehidupan para petambang. Sebulan dia
bekerja, dapat penghasilan lalu dia melanjutkan perjalanan ke Bolaang Mongondow
hingga Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
Cita-cita luhur Hambali adalah ingin
mendokumentasikan seribu satu kisah yang dia jumpai selama berpetualang ke
berbagai penjuru di Indonesia. Menurutnya, dia menikmati seluruh perjalanan itu
dan menarik begitu banyak pelajaran berharga dari berbagai suku di Indonesia.
Keinginan yang luhur itu memang harus dipendam oleh
Hambali. Pasalnya, untuk makan pun dia harus berhemat karena hanya bekerja
serabutan. Dulu dia pernah punya kamera manual, tetapi harus dilepasnya karena
kehabisan uang dalam perjalanan. Tapi Hambali sempat mencetak beberapa foto
yang dia hasilkan dari kamera itu.
Walau terlihat sederhana, tapi Hambali sesungguhnya
adalah orang besar dengan keinginan yang sangat kuat. Motto yang dia pegang
adalah sebuah kutipan dari kalimat St Augustin, "The world is a book
and those who do not travel read only one page" .
Berbeda dengan para pejalan dan petualang lainnya,
jangankan punya akun di jejaring sosial yang bisa membagikan kisahnya, bahkan
telepon selular pun dia tidak punya. Baginya, buku itulah satu-satunya teman
dalam perjalanannya. Teruslah berpetualang dan mengelilingi Indonesia, Hambali.
Jadilah inspirasi bagi semua orang.
Penulis : Kontributor Manado, Ronny Adolof Buol
Sumber : http://regional.kompas.com
No comments:
Post a Comment